Jumat, 04 Oktober 2013

TEORI MOTIVASI



2.1  TEORI MOTIVASI

Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapi. Menurut Robbins (2001:166) menyatakan definisi dari motivasi yaitu kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual.
Pengertian prestasi menurut Murray (dalam J. Winardi, 2004):”...Melaksanakan tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi atau mengorganisasi objek-objek fiskal, manusia atau ide-ide untuk melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin sesuai kondisi yang berlaku. Mencapai perporman puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil”
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan.
Dibawah ini, kita akan membahas beberapa macam teori berprestasi.
a. Teori Motivasi Beprestasi dari McClelland
Dari McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Acievement (N.Ach) yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Murray sebagaimana dikutip oleh Winardi merumuskan kebutuhan akan prestasi tersebut sebagai keinginan :“ Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit. Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi obyek-obyek fisik, manusia, atau ide-ide melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin, sesuai kondisi yang berlaku. Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi. Mencapai performa puncak untuk diri sendiri. Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain. Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil.”
Need menurut McClelland dibagi atas tiga:
1)        Need For achievement.
Ada beberapa orang yang memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Mereka lebih mengejar prestasi pribadi daripada imbalan terhadap keberhasilan. Mereka bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan lebih efisien jika dibandingkan dengan hasil sebelumnya.
Ciri-ciri: 
  • Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif. 
  • Mencari feedback tentang perbuatannya. 
  • Memilih resiko yang sedang di dalam perbuatannya. 
  • Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya.
2)        Need for affiliation.
Kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam kehidupannya atau hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini akan mengarahkan tingkah laku individu untuk melekukan hubungan yang akrab dengan orang lain. Orang-orang dengan need affiliation yang tinggi ialah orang yang berusaha mendapatkan persahabatan.
Ciri-ciri: 
  • Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya daripada segi tugas-tugas yang ada dalam pekerjaan tersebut. 
  • Melakukan pekerjaannya lebih efektif apbila bekerjasama dengan orang lain dalam suasana yang lebih kooperatif. 
  • Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain. 
  • Lebih suka dengan orang lain daripada sendirian. 
  • Selalu berusaha menghindari konflik.
3.      Need for power.
Adanya keinginan yang kuat untuk mengendalikan orang lain, intuk mempengaruhi orang lain dan untuk memiliki dampak terhadap orang lain.
Ciri-ciri: 
  • Menyukai pekerjaan dimana mereka menjadi pimpinan. 
  • Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan dari sebuah organisasi dimanapun dia berada. 
  • Mengumpulkan barang-barang atau menjadi anggota suatu perkumpulan yang dapat mencerminkan prestise. 
  • Sangat peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organiasi.
b. Teori Abraham H. Maslow (Teori Kebutuhan)
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu:
  1. Kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus, istirahat dan sex; 
  2. Kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan intelektual; 
  3. Kebutuhan akan kasih sayang (love needs); 
  4. Kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan 
  5. Atualisasi diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata.
Kebutuhan-kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan) kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder. Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental, intelektual dan bahkan juga spiritual.
Menarik pula untuk dicatat bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori “klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan “ yang dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua,- dalam hal ini keamanan- sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang, pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan “koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa:
  • Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin akan timbul lagi di waktu yang akan datang; 
  • Pemuasaan berbagai kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam pemuasannya. 
  • Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai “titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fondasi dan mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
c. Teori Clyton Alderfer (Teori “ERG”)
Teori Alderfer dikenal dengan akronim “ERG” . Akronim “ERG” dalam teori Alderfer merupakan huruf-huruf pertama dari tiga istilah yaitu: E = Existence (kebutuhan akan eksistensi), R = Relatedness (kebutuhan untuk berhubungan dengan pihak lain, dan G = Growth (kebutuhan akan pertumbuhan)
Jika makna tiga istilah tersebut didalami akan tampak dua hal penting. Pertama, secara konseptual terdapat persamaan antara teori atau model yang dikembangkan oleh Maslow dan Alderfer. Karena “Existence” dapat dikatakan identik dengan hierarki pertama dan kedua dalam teori Maslow; “ Relatedness” senada dengan hierarki kebutuhan ketiga dan keempat menurut konsep Maslow dan “Growth” mengandung makna sama dengan “self actualization” menurut Maslow. Kedua, teori Alderfer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasannya secara serentak. Apabila teori Alderfer disimak lebih lanjut akan tampak bahwa:
  • Makin tidak terpenuhinya suatu kebutuhan tertentu, makin besar pula keinginan untuk memuaskannya; 
  • Kuatnya keinginan memuaskan kebutuhan yang “lebih tinggi” semakin besar apabila kebutuhan yang lebih rendah telah dipuaskan; 
  • Sebaliknya, semakin sulit memuaskan kebutuhan yang tingkatnya lebih tinggi, semakin besar keinginan untuk memuasakan kebutuhan yang lebih mendasar.
Tampaknya pandangan ini didasarkan kepada sifat pragmatisme oleh manusia. Artinya, karena menyadari keterbatasannya, seseorang dapat menyesuaikan diri pada kondisi obyektif yang dihadapinya dengan antara lain memusatkan perhatiannya kepada hal-hal yang mungkin dicapainya.
d. Teori Herzberg (Teori Dua Faktor)
Frederick Herzberg (1923-2000), adalah seorang ahli psikolog klinis dan dianggap sebagai salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan teori motivasi. Frederick I Herzberg dilahirkan di Massachusetts pada 18 April 1923. Sejak sarjana telah bekerja di City College of New York. Lalu tahun 1972, menjadi Profesor Manajemen di Universitas Utah College of Business. Hezberg meninggal di Salt Lake City, 18 Januari 2000.
Teori Dua Faktor Hezberg
Frederick Herzberg (Hasibuan, 1990 : 177) mengemukakan teori motivasi berdasar teori dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Dia membagi kebutuhan Maslow menjadi dua bagian yaitu kebutuhan tingkat rendah (fisik, rasa aman, dan sosial) dan kebutuhan tingkat tinggi (prestise dan aktualisasi diri) serta mengemukakan bahwa cara terbaik untuk memotivasi individu adalah dengan memenuhi kebutuhan tingkat tingginya.
Menurut Hezberg, faktor-faktor seperti kebijakan, administrasi perusahaan, dan gaji yang memadai dalam suatu pekerjaan akan menentramkan karyawan. Bila faktor-faktor ini tidak memadai maka orang-orang tidak akan terpuaskan (Robbins,2001:170).
Menurut hasil penelitian Herzberg ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memotivasi bawahan (Hasibuan, 1990 : 176) yaitu : 
  1. Hal-hal yang mendorong karyawan adalah pekerjaan yang menantang yang mencakup perasaan berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan, dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan adanya pengakuan atas semua itu. 
  2. Hal-hal yang mengecewakan karyawan adalah terutama pada faktor yang bersifat embel-embel saja dalam pekerjaan, peraturan pekerjaan, penerangan, istirahat dan lain-lain sejenisnya. 
  3. Karyawan akan kecewa bila peluang untuk berprestasi terbatas. Mereka akan menjadi sensitif pada lingkungannya serta mulai mencari-cari kesalahan.
Herzberg menyatakan bahwa orang dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor yang merupakan kebutuhan, yaitu : 
  1. Maintenance Factors. Adalah faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman badaniah. Kebutuhan kesehatan ini merupakan kebutuhan yang berlangsung terus-menerus, karena kebutuhan ini akan kembali pada titik nol setelah dipenuhi. 
  2. Motivation Factors. Adalah faktor motivator yang menyangkut kebutuhan psikologis seseorang yaitu perasaan sempurna dalam melakukan pekerjaan. Factor motivasi ini berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang berkaitan langsung denagn pekerjaan.
Penerapan Teori Dua Faktor Herzberg Dalam Organisasi
Dalam kehidupan organisasi, pemahaman terhadap motivasi bagi setiap pemimpin sangat penting artinya, namun motivasi juga dirasakan sebagai sesuatu yang sulit. Hal ini dikemukakan oleh Wahjosumidjo (1994 : 173) sebagai berikut:
  1. Motivasi sebagai suatu yang penting (important subject) karena peran pemimpin itu sendiri kaitannya dengan bawahan. Setiap pemimpin tidak boleh tidak harus bekerja bersama-sama dan melalui orang lain atau bawahan, untuk itu diperlukan kemampuan memberikan motivasi kepada bawahan. 
  2. Motivasi sebagai suatu yang sulit (puzzling subject), karena motivasi sendiri tidak bisa diamati dan diukur secara pasti. Dan untuk mengamati dan mengukur motivasi berarti harus mengkaji lebih jauh perilaku bawahan. Disamping itu juga disebabkan adanya teori motivasi yang berbeda satu sama lain.
Untuk memahami motivasi karyawan digunakan teori motivasi dua arah yang dikemukakan oleh Herzberg:
Pertama, teori yang dikembangkan oleh Herzberg berlaku mikro yaitu untuk karyawan atau pegawai pemerintahan di tempat ia bekerja saja. Sementara teori motivasi Maslow misalnya berlaku makro yaitu untuk manusia pada umumnya.
Kedua, teori Herzberg lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dengan performa pekerjaan. Teori ini dikemukakan oleh Frederick Herzberg tahun 1966 yang merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan menurut Maslow.
Teori Herzberg memberikan dua kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan. Pertama, teori ini lebih eksplisit dari teori hirarki kebutuhan Maslow, khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan. Kedua, kerangka ini membangkitkan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker and Hall dalam Timpe, 1999 : 13).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap akuntan dan ahli teknik Amerika Serikat dari berbagai Industri, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor (Cushway and Lodge, 1995 : 138). Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation.
Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja.
Jadi karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinnya menggunakan kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi (dalam Sondang, 2002 : 107).
Adapun yang merupakan faktor motivasi menurut Herzberg adalah: pekerjaan itu sendiri (the work it self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement), pengakuan orang lain (ricognition), tanggung jawab (responsible).
Menurut Herzberg faktor hygienis/extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan, faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway & Lodge, 1995 : 139).
Sedangkan faktor motivation/intrinsic factor merupakan faktor yang mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah (hygienis) (Leidecker & Hall dalam Timpe, 1999 : 13).
Dari teori Herzberg tersebut, uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan oleh para ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi kerena pekerjaan itu dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka.
e. Teori Keadilan
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
  • Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar, atau 
  • Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya menggunakan empat hal sebagai pembanding, yaitu:
  • Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan pengalamannya; 
  • Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri; 
  • Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama serta melakukan kegiatan sejenis; 
  • Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan yang merupakan hak para pegawai.
Pemeliharaan hubungan dengan pegawai dalam kaitan ini berarti bahwa para pejabat dan petugas di bagian kepegawaian harus selalu waspada jangan sampai persepsi ketidakadilan timbul, apalagi meluas di kalangan para pegawai. Apabila sampai terjadi maka akan timbul berbagai dampak negatif bagi organisasi, seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran yang tinggi, sering terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para pegawai berbuat kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan perpindahan pegawai ke organisasi lain.
f. Teori penetapan tujuan (goal setting theory).
Teori penetapan tujuan atau goal setting theory awalnya dikemukakan oleh Dr. Edwin Locke pada akhir tahun 1960. Lewat publikasi artikelnya ‘Toward a Theory of Task Motivation and Incentives’ tahun 1968, Locke menunjukkan adanya keterkaitan antara tujuan dan kinerja seseorang terhadap tugas. Dia menemukan bahwa tujuan spesifik dan sulit menyebabkan kinerja tugas lebih baik dari tujuan yang mudah. Beberapa tahun setelah Locke menerbitkan artikelnya, penelitian lain yang dilakukan Dr. Gary Latham, yang mempelajari efek dari penetapan tujuan di tempat kerja. Penelitiannya mendukung persis apa yang telah dikemukakan oleh Locke mengenai hubungan tak terpisahkan antara penetapan tujuan dan kinerja. Pada tahun 1990, Locke dan Latham menerbitkan karya bersama mereka, ‘A Theory of Goal Setting and Task Performance’. Dalam buku ini, mereka memperkuat argumen kebutuhan untuk menetapkan tujuan spesifik dan sulit.
Lima Prinsip Penetapkan Tujuan
1.       Kejelasan.
2.       Tantangan.
3.       Komitmen.
4.       Umpan balik (feedback).
5.       Kompleksitas tugas.
1. Kejelasan
Tujuan harus jelas terukur, tidak ambigu, dan ada jangka waktu tertentu yang ditetapkan untuk penyelesaian tugas. Manfaatnya ketika ada sedikit kesalahpahaman dalam perilaku maka orang masih akan tetap menghargai atau toleran. Orang tahu apa yang diharapkan, dan orang dapat menggunakan hasil spesifik sebagai sumber motivasi.
2. Menantang
Salah satu karakteristik yang paling penting dari tujuan adalah tingkat tantangan. Orang sering termotivasi oleh prestasi, dan mereka akan menilai tujuan berdasarkan pentingnya sebuah pencapaian yang telah diantisipasi. Ketika orang tahu bahwa apa yang mereka lakukan akan diterima dengan baik, akan ada motivasi alami untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Dengan catatan sangat penting untuk memperhatikan keseimbangan yang tepat antara tujuan yang menantang dan tujuan yang realistis.
3. Komitmen
Tujuan harus dipahami agar efektif. Karyawan lebih cenderung memiliki tujuan jika mereka merasa mereka adalah bagian dari penciptaan tujuan tersebut. Gagasan manajemen partisipatif terletak pada ide melibatkan karyawan dalam menetapkan tujuan dan membuat keputusan. Mendorong karyawan untuk mengembangkan tujuan-tujuan mereka sendiri, dan mereka menjadi berinisiatif memperoleh informasi tentang apa yang terjadi di tempat lain dalam organisasi. Dengan cara ini, mereka dapat yakin bahwa tujuan mereka konsisten dengan visi keseluruhan dan tujuan perusahaan.
4. Umpan balik (feedback
Umpan balik memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi harapan, menyesuaikan kesulitan sasaran, dan mendapatkan pengakuan. Sangat penting untuk memberikan kesempatan benchmark atau target, sehingga individu dapat menentukan sendiri bagaimana mereka melakukan tugas.
5. Kompleksitas Tugas 
Faktor terakhir dalam teori penetapan tujuan memperkenalkan dua persyaratan lebih untuk sukses. Untuk tujuan atau tugas yang sangat kompleks, manajer perlu berhati-hati untuk memastikan bahwa pekerjaan tidak menjadi terlalu berlebihan.
Orang-orang yang bekerja dalam peran yang kompleks mungkin sudah memiliki motivasi tingkat tinggi. Namun, mereka sering mendorong diri terlalu keras jika tindakan tidak dibangun ke dalam harapan tujuan untuk menjelaskan kompleksitas tugas, karena itu penting untuk memberikan orang waktu yang cukup untuk memenuhi tujuan atau meningkatkan kinerja. Sediakan waktu yang cukup bagi orang untuk berlatih atau mempelajari apa yang diharapkan dan diperlukan untuk sukses. Inti dari penetapan tujuan adalah untuk memfasilitasi keberhasilan. Oleh karena itu pastikan bahwa kondisi sekitar tujuan tidak menyebabkan frustrasi atau menghambat orang untuk mencapai tujuan mereka.
Penentuan tujuan adalah sesuatu yang diperlukan untuk kesuksesan. Dengan pemahaman teori penetapan tujuan, kemudian dapat secara efektif menerapkan prinsip-prinsip untuk tujuan yang akan ditetapkan.
Implikasi Teori
  • Teori ini jelas mempengaruhi cara organisasi mengukur kinerjanya. Dengan menggunakan konsep penetapan tujuan yaitu adanya kejelasan, tujuan yang menantang, dan berkomitmen untuk mencapainya. Memberikan umpan balik pada kinerja. Mempertimbangkan kompleksitas tugas.
  • Memungkinkan manajemen untuk melakukan diagnosis kesiapan, misalnya apakah tenaga kerja, organisasi dan teknologi sesuai dengan program goal setting.
  • Mempersiapkan tenaga kerja berkenaan dengan interaksi antara individu, komunikasi, pelatihan (training) dan perencanaan.
  • Penekanan pada sasaran yang harus diketahui dan dimengerti oleh manajer dan bawahannya
  • Mengevaluasi tindak lanjut untuk penyesuaian sasaran yang ditentukan.
  • Tinjauan akhir untuk memeriksa cara pengerjaan dan modifikasi yang ditentukan. Manajemen berdasarkan sasaran memberi kesempatan kepada tenaga kerja untuk membuat penilaiannya sendiri mengenai hasil-hasil operasi, artinya jika ia membicarakan hasil maka sebenarnya individu tersebut menilai dirinya sendiri dan mungkin sekali mendapatkan wawasan mendalam bagaimana ia harus memperbaiki sikapnya. cara-caranya atau kelakuannya.
g. Teori Victor H. Vroom (Teori Harapan )
Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation” mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “ Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.
Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.
h. Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku
Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai model kognitif motivasi karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan berarti sifatnya sangat subyektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut.
Padahal dalam kehidupan organisasional disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekwensi ekstrernal dari perilaku dan tindakannya. Artinya, dari berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku.
Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekwensi yang menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan perilaku yang mengakibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan.
Contoh yang sangat sederhana ialah seorang juru tik yang mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam waktu singkat. Juru tik tersebut mendapat pujian dari atasannya. Pujian tersebut berakibat pada kenaikan gaji yang dipercepat. Karena juru tik tersebut menyenangi konsekwensi perilakunya itu, ia lalu terdorong bukan hanya bekerja lebih tekun dan lebih teliti, akan tetapi bahkan berusaha meningkatkan keterampilannya, misalnya dengan belajar menggunakan komputer sehingga kemampuannya semakin bertambah, yang pada gilirannya diharapkan mempunyai konsekwensi positif lagi di kemudian hari.
Contoh sebaliknya ialah seorang pegawai yang datang terlambat berulangkali mendapat teguran dari atasannya, mungkin disertai ancaman akan dikenakan sanksi indisipliner. Teguran dan kemungkinan dikenakan sanksi sebagi konsekwensi negatif perilaku pegawai tersebut berakibat pada modifikasi perilakunya, yaitu datang tepat pada waktunya di tempat tugas. Penting untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, cara-cara tersebut ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula.
i. Teori Kaitan Imbalan dengan Prestasi.
Bertitik tolak dari pandangan bahwa tidak ada satu model motivasi yang sempurna, dalam arti masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, para ilmuwan terus menerus berusaha mencari dan menemukan sistem motivasi yang terbaik, dalam arti menggabung berbagai kelebihan model-model tersebut menjadi satu model. Tampaknya terdapat kesepakan di kalangan para pakar bahwa model tersebut ialah apa yang tercakup dalam teori yang mengaitkan imbalan dengan prestasi seseorang individu.
Menurut model ini, motivasi seorang individu sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Termasuk pada faktor internal adalah :
a.       persepsi seseorang mengenai diri sendiri;
b.      harga diri;
c.       harapan pribadi;
d.      kebutuhaan;
e.       keinginan;
f.       kepuasan kerja
g.      prestasi kerja yang dihasilkan.
Sedangkan faktor eksternal mempengaruhi motivasi seseorang, antara lain ialah :
a.       jenis dan sifat pekerjaan
b.      kelompok kerja dimana seseorang bergabung
c.       organisasi tempat bekerja
d.      situasi lingkungan pada umumnya
e.       sistem imbalan yang berlaku dan cara penerapannya.
2.2  TUJUAN MOTIVASI
Tujuan Motivasi menurut Malayu S.P Hasibuan (2003;146) : mengatakan bahwa pengertian motivasi adalah sebagai berikut :
1.      Meningkatkan Moral dan kepuasan Kerja Karyawan
2.      Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan
3.      Mempertahankan kestabilan karyawan perusahaan
4.      Meningkatkan kedisiplinan karyawan
5.      mengefektifkan pengadaan karyawan
6.      Menciptakan suasana dan hubungan kerja yang baik
7.      Meningkatkan loyalitas, kreativitas dan partisipasi karyawan
8.      Meningkatkan kesejahteraan karyawan
9.      Mempertinggi rasa tanggung jawab karyawan terhadap tugas-tugasnya
10.  Meningkatkan efisiensi penggunaan alat-alat dan bahan baku
2.3  JENIS-JENIS MOTIVASI
Motivasi merupakan fenomena hidup yang banyak corak dan ragamnya. Secara umum motivasi dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis yang satu sama lain memberi warna terhadap aktivitas manusia.Danim (2001:17), menyatakan bahwa motivasi yang diberikan digolongkan menjadiempat bagian:
a.       Motivasi Positif Motivasi positif adalah proses pemberian motivasi atau usaha membangkitkan motif, dimana hal itu diarahkan pada usaha mempengaruhi orang lain agar dia bekerja secara baik dan antusias dengan cara memberikan keuntungan tertentu kepadanya.
b.      Motivasi Negatif Motivasi negatif sering dikatakan sebagai motivasi yang bersumber dari rasa takut. Motivasi negatif yang berlebihan akan membuat organisasi tidak mampu mencapai tujuan.
c.       Motivasi dari Dalam Motivasi dari dalam timbul pada diri pekerja waktu dia menjalankan tugaas -tugas atau pekerjaan dan bersumber dari dalam diri pekerja iu sendiri.
d.      Motivasi dari luar Motivasi dari luar adalah motivasi yang muncul sebagai akibat adanya pengaruh yang ada di luar pekerjaan dan dari luar diri pekerja itu sendiri.
2.4  METODE MOTIVASI
Malayu S.P. Hasibuan (2003:149), mengatakan bahwa ada dua metode motivasi adalah sebagai berikut ;
a.       Motivasi Langsung (Direct Motivation)
Motivasi langsung adalah motivasi (materiil dan Non Materiil) yang diberikan secara langsung kepada setiap individu karyawan untuk memenuhi kebutuhan serta kepuasannya, jadi sifatnya khusus, seperti pujian, penghargaan, tunjangan hari raya, bonus dan bintang jasa.
b.      Motivasi Tidak Langsung (Indirect Motivation)
Motivasi Tidak langsung adalah motivasi yang diberikan hanya merupakan fasilitas-fasilitas yang mendukung serta menunjang gairah kerja atau kelancaran tugas sehingga para karyawan betah dan bersemangat melakukan pekerjaannya. Misalnya ruangan kerja yang nyaman, suasana pekerjaan yang serasi dan sejenisnya.


2.5  MODEL-MODEL MOTIVASI
Veithzal Rivai (2005;470), mengatakan bahwa model-model motivasi adalah sebagai berikut :
1.      Model Tradisional
Model tradisional ini digunakan untuk memberikan dorongan kepada karyawan agar melakukan tugas mereka dengan berhasil, para menajer menggunkan sistem upah insentif, semakin banyak mereka menghasilkan atau mencapai hasil kerja yang sempurna, semakin besar penghasilan mereka.
2.      Model Hubungan Manusiawi
Model hubungan tradisional yaitu para manajer dianjurkan untuk bisa memotivasi para karyawan dengan mengakui kebutuhan sosial mereka dan dengan membuat mereka merasa penting dan berguna, sehingga dapat meningkatkan kepuasan kerjanya. Para karyawan diberi lebih banyak waktu kebebasan  untuk mengambil keputusan dalam menjalankan pekerjaannya.
3.      Model Sumber Daya Manusia
Model Sumber Daya Manusia yaitu karyawan mempunyai motivasi yang sangat beraneka ragam, bukan hanya motivasi karena uang ataupn keinginan akan kepuasan, tetapi juga kebutuhan untuk berprestasi dan mempunyai arti dalam bekerja. Tugas manajer dalam model ini, bukanlah menyuap para karyawan dengan upah atau uang saja tetapi juga untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bersama dalam mencapai tujuan organisasi dan anggotanya, dimana setiap karyawan menyumbangkan sesuai dengan kepentingan dan kemampuannya masing-masing.
2.6  FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI
Motivasi timbul karena dua faktor, yaitu faktor dari dalam diri manusia dan faktor dari luar diri manusia (Wursanto, 2000: 131)..
a.       Faktor dalam diri manusia (disebut motivasi internal) berupa sikap, pendidikan, kepribadian, pengalaman, pengetahuan, dan cita-cita.
b.      Faktor   luar diri manusia (motivasi ekternal) berupa gaya kepemimpinan atasan, dorongan atau bimbingan seseorang, dan perkembangan situasi
2.7  CARA MEMOTIVASI KERJA BAGI KARYAWAN
Cara memotivasi karyawan menurut Ishak (2003 : 13) sebagai berikut:
a.       Rasa hormat (respect), yaitu memberikan rasa hormat dan penghargaan secara adil. Namun adil bukan berarti sama rata. Seperti dalam hal prestasi kerja, atasan tidak mungkin memberikan penghargaan pada semua orang. Memberikan penghargaan berdasarkan prestasi, kepangkatan, pengalaman, dan sebagainya.
b.      Informasi, yaitu dengan memberikan informasi kepada pegawai mengenai aktivitas organisasi, terutama tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.
c.       Perilaku. Usahakanlah mengubah perilaku sesuai dengan harapan bawahan. Dengan demikian ia mampu membuat pegawai berperilaku atau berbuat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh organisasi
d.      Hukuman. Berikan hukuman kepada karyawan yang bersalah diruang yang terpisah, jangan menghukum di depan pegawai lain karena dapat menimbulkan frustasi dan merendahkan martabat.
e.       Perasaan. Tanpa mengetahui bagaimana harapan karyawan dan perasaan apa yang ada dalam diri mereka, sangat sulit bagi pimpinan untuk memotivasi bawahan. Perasaan dimaksud seperti rasa memiliki, rasa partisipasi, rasa bersahabat, rasa diterima dalam kelompok, dan rasa mencapai prestasi.
2.8              PROSES MOTIVASI
Malayu S.P. Hasibuan (2003;151), mengatakan bahwa proses motivasi adalah sebagai berikut :
1.      Tujuan
Dalam proses motivasi perlu ditetapkan terlebih dahulu tujuan organisasi. Baru kemudian para karyawan dimotivasi kearah tujuan.
2.      Mengetahui kepentingan
hal yang penting dalam proses motivasi adalah mengetahui keinginan karyawan dan tidak hanya melihat dari sudut kepntingan pimpinan atau perusahaan saja.
3.      Komunikasi efektif
Dalam proses motivasi harus dilakukan komunikasi yang baik dengan bawahan. Bawahan harus mengetahui apa yang akan diperolehnya dan syarat apa saja yang harus dipenuhinya supaya insentif tersebut diperolehnya.

4.      Integrasi tujuan
Proses motivasi perlu untuk menyatukan tujuan organisasi dan tujuan kepentingan karyawan. Tujuan organisasi adalah needscomplex yaitu untuk memperoleh laba serta perluasan perusahaan. Sedangkan tujuan individu karyawan ialah pemenuhan kebutuhan dan kepuasan. Jadi, tujuan organisasi dan tujuan karyawan harus disatukan dan untuk itu penting adanya penyesuaian motivasi.
5.      Fasilitas
Manajer penting untuk memberikan bantuan fasilitas kepada organisasi dan individu karyawan yang akan mendukung kelancaran pelaksanaan pekerjaan. Seperti memberikan bantuan kendaraan kepada salesman.
6.      Team Work
Manajer harus membentuk Team work yang terkoordinasi baik yang bias mencapai tujuan perusahaan. Team Work penting karena dalam suatu perusahaan biasanya terdapat banyak bagian.

2. Mencari jalan keluar untuk memnuhi kebutuhan
3. Perilaku yang berorientasi pada tujuan
1. Kebutuhan yang tidak terpenuhi
4. Hasil Karya (Evaluasi dari tujuan yang tercapai)
5. Imbalan atau hukuman
6. Kebutuhan yang tidak dipenuhi dinilai kembali oleh karyawan.

 Karyawan
 Sumber : Malayu S.P Hasibuan (2003:151)
Gambar 2.1 Proses Motivasi

2.9      HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN.
Motivasi yang tinggi yang ada pada diri Karyawan merupakan suatu modal besar bagi suatu perusahaan untuk dapat mewujudkan kepuasan kerja yang tinggi pula. Dalam usahanya mewujudkan Motivasi yang tingggi perusahaan dapat memilih cara memotivasi karyawan dengan tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi perusahaan.
T. Hani Handoko (2003:252) mengatakan bahwa hubungan Motivasi terhadap kepuasan kerja adalah sebagai berikut :
 “Motivasi yang ada pada diri seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya.”
Veithzal Rivai (2008:456) mengatakan bahwa hubungan Motivasi terhadap kepuasan kerja adalah sebagai berikut :
“Apabila individu termotivasi, mereka akan membuat pilihan yang positif untuk melakukan sesuatu, karena dapat memuaskan keinginan mereka.”
             Maman Ukas (2006:318) mengatakan bahwa hubungan Motivasi terhadap kepuasan kerja adalah sebagai berikut :
“Dan dorongan yang mendapatkan usaha untuk melakukan atau memuaskan suatu kebutuhan atau tujuan disebut motivasi.”
A. Sihotang (2007:244) berpendapat bahwa ada hubungan antara Motivasi dengan kepuasan kerja  melalui Kuadran-kuadran Pada Tabel sebagai berikut :

Kepuasan

Tinggi
Rendah
I
Nilai Positif bagi organisasi dan bagi pekerja
II. Positif Bagi organisasi tapi Negatif bagi pekerja
III
Negatif bagi Organisasi tapi positif bagi pekerja
IV. Negatif bagi organsasi dan bagi pekerja

Sumber : A. Sihotang (2007;244)
Tabel 2.1 Hubungan Motivasi dengan Kepuasan kerja

1.      Kuadaran I tergambar bahwa pegawai bermotivasi tinggi, sangat baik bagi organisasi dan baik pula bagi pekerja, keadaan yang di kuadran perama inilah yang paling ideal
2.      Kuadran II menggambarkan pekerja yang bermotivasi tinggi berdampak baik terhadap organisasi tapi negatif bagi pekerja karena mereka menerima reward yang lebih rendah dari yang diharapkan, keadaan ini dapat berakibat pekerja mengundurkan diri.
3.      Kuadaran III menunjukan kinerja pegawai rendah, dirasa baik untuk karyawan akan tetapi negatif bai organisasi karena organisasi merasa memenuhi kebutuhan kebutuhan pegawai tetapi si pegawai tidak memberikan kontribusi yang positif bagi organisasi.
4.      Kuadran IV menggambarkan pekerja tidak bekerja dengan baik dan tidak memeperoleh motivasi yang cukup dari organisasi. Pekerja demikian ini tidak berguna bagi organisasi. Pada situasi demikian inilah sering terjadi pemberhentian pekerja atau karyawan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari kuadran-kuadran diatas adalah :
            Pertama bahwa karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya, belum tentu karena prestasi yang tinggi bagi organisasinya dan sebaliknya organisasi yang tinggi hasil prestasi karyawannya belum tentu selalu memberikan reward yang tinggi juga kepada karyawan.
            Kedua adalah untuk menciptakan situasi kerja dengan produktivitas tinggi dan kehidupan kerja yang memuaskan semua pihak merupakan usaha keras dan cukup sulit, maka perlu selalu diupayakan secara berkelanjutan

2.10    METODE PENGUKURAN MOTIVASI
Pengukurun motivasi karyawan bisa dilakukan dengan cara:
a.      Observasi
b.     Metode pelaporan diri (self report)          
c.      Wawancara mendalam (in-depth  interview)
d.     Tes proyektif
Contoh pengukuran motivasi dengan tes proyektif
1.      Uji asosiasi kata à responden diminta untuk mengungkapkan kata pertama yang muncul dalam benak mereka saat mereka membaca kata-kata berikut : sikap gigi, pasta gigi dan berkumur.
2.      Metode penyelesaian kalimat (sentence completion method) à Responden diminta untuk melengkapi sejumlah kalimat parsial (kalimat yang belum lengkap)   dengan satu kata atau frase yang pertama kali  muncul dalam benak mereka Sebagai contoh :
a.       Orang yang rajin beribadah sesuai dengan keyakinannya biasanya..........................
b.      Harga daging impor pasti ...................................
c.       Bagi orang Indonesia, sehari tanpa makan nasi terasa...........................
3.      Teknik orang ketiga (third-person technique) à  responden diminta untuk menjelaskan mengapa  orang ketiga (misalnya, tetangga atau saudaranya) melakukan apa yang mereka lakukan”apa yang menjadi alasan tetangga anda membeli mobil mercy?”
4.      Thematic Apperception Test (TAT) à menunjukkan serangkaian gambar kepada para responden yang            kemudian diminta untuk mendeskripsikan atau membuat cerita tentang gambar-gambar tersebut. Pada prinsipnya, konsumen dan produk menjadi  pusat perhatian dalam gambar-gambar yang ditampilkan.
e.      Kelompok Fokus (FGD)
2.11          HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN KINERJA, EMPLOYEE RELATIONS DAN GAYA KEPEMIMPINAN
EKSTRINSIK FACTOR
GAYA KEPEMIMPINAN
KINERJA INDIVIDU
KINERJA ORGANISASI
MOTIVASI
EMPLOYEE RELATIONS
INTRINSIK FACTOR
Hubungan antara motivasi dengan kinerja, employee relation dan gaya kepemimpinan dalam suatu organisasi yaitu gaya kepemeimpinan sangat berpengaruh pada motivasi karyawannya, seorang pemimpin dalam memimpin membina hubungan baik dengan karyawan bisa menjadi motivasi yang bagi karyawan dan akhirnya meningkatkan kinerja dari karyawan tersebut. Keadan tersebut juga bisa menciptakan suasan lingkungan kerja yang baik sehingga hubungan karyawan dan atasan bisa berjlan baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut:




EKSTRINSIK FACTOR
GAYA KEPEMIMPINAN
KINERJA INDIVIDU
KINERJA ORGANISASI
MOTIVASI
EMPLOYEE RELATIONS
INTRINSIK FACTOR
 
Gambar 2.1 hubungan motivasi dengan kinerja, employee relations dan gaya kepemimpinan
2.12          TEORI MOTIVASI YANG COCOK UNTUK ORGANISASI NON PROFIT
Berikut ini beberapa teori-teori motivasi yang memungkinkan untuk diaplikasikan dalam organisasi, terutama yang non-profit, seperti organisasi sekolah, baik OSIS, Pramuka, maupun Rohis.
1.      Teori Motivasi Era Lama, Teori motivasi era lama ada 3, diantaranya:
a.       teori hirarki kebutuhan Maslow,
b.      teori X dan Y,
c.       dan teori dua factor
2.      Teori Motivasi kontemporer, terdapat banyak teori motivasi dengan bukti empiris yang lebih kuat dari sebelumnya, diantaranya:
a.       teori kebutuhan McClelland,
b.      cognitive evaluation theory,
c.       goal-setting theory,
d.      teori efektivitas diri,
e.       teori penguatan,
f.        teori keadilan,
g.      dan teori harapan
2.13          LEBIH BAIK MOTIVASI INTRINSIK ATAU MOTIVASI EKSTRENSIK
Manusia dimotivasi oleh aktivitas alamiah, menguasai sesuatu yang baru dengan senang hati, atau konsekuensi alamiah dari aktivitas tersebutOrang yang termotivasi secara intrinsik cenderung bekerja lebih keras. merak lebih menikmati pekerjaan mereka dan selalu tampil lebih kreatif daripada orang yang dimotivasi secara ekstrinsik.
Motivasi Ektrensik adalah motivasi manusia yang diaktifkan oleh penghargaan dari luar. Atau dengan kata lain melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Jika termotivasi secara ekstrinsik  Ia melakukan tugas itu bukan karena tertarik pada tugas tersebut tetapi karena ada hadiah yang ditawarkan. Sama halnya dengan seseorang yang bekerja keras untuk jadi pegawai yang baik. Alasan utamanya adalah ingin dikagumi rekan-rekannya bukan karena ketertarikannya pada pekerjaan tersebut.  Jadi motivasi intrinsik lebih baik dari motivasi ekkstrensik.